RUNTUH

 

Kalau kalian anggap duniaku baik-baik saja, kalian salah besar.

Kalau kalian anggap masalahku adalah masalah sepele yang pasti pernah dialami oleh semua orang, kalian mungkin benar, tapi mungkin rasa yang aku alami berbeda.

Ribuan kali aku berusaha bertahan hidup, ribuan kali aku menepis pikiran untuk menyudahi hidupku. Kalian tau rasanya menahan diri untuk tidak memikirkan ribuan cara untuk mati?

Beri aku satu alasan untuk tetap bertahan hidup.

 

“Cuma” karena cinta?

Yang aku alami tidak sesederhana itu.

Yang aku butuhkan tidak semudah itu aku dapatkan.

 

Aku terus berpikir ribuan kali, janji apa yang dulu aku katakan kepada Tuhan sehingga aku mengiyakan untuk menerima tawaran hidup dan lahir ke dunia ini saat sebelum menjadi ruh yang ditiupkan pada segumpal daging dalam perut Ibuku.

 

Sejak pertama aku dilahirkan, aku bahkan sulit mendapatkan air susu Ibuku. Aku pernah menjalani hari dan hidup di bawah garis kemiskinan, bahkan sejak lahir. ASIku adalah air tajin (air rebusan beras yang kemudian diberi sedikit gula dan garam agar rasanya gurih seperti ASI). Jadi jangan heran jika tubuhku kecil, tinggiku kini dibawah rata-rata orang normal lainnya, yang kini disebut stunting. Dulu ketika sekolah dasar aku ingat sekali, karena tinggiku aku disebut cebol. Bukan salahku kalo tinggiku dibawah normal.

Sejak bayi aku selalu menangis setiap malam karena aku tinggal terpisah dengan Ibuku, aku hidup dengan nenek di sebuah desa kecil di pulau Jawa. Rumah kayu, dapur tanah, masak dengan kayu bakar, tanpa kamar mandi, buang air di tanah dikubur dengan pasir atau bahkan dibuang dengan kantong plastik hitam. Setiap malam mbah Jari, sebutan untuk seorang kakek yang dianggap orang pintar di kampung, beliau selalu datang untuk membacakan doa dalam segelas air, diminum lalu disemburkanm kepadaku, katanya agar aku tidak rewel lagi dan selalu menangis setiap malam.

Tapi kalian tau apa yang selalu membuatku berhenti menangis? Saat Bapakku datang entah darimana, kemudian mengajakku jalan dengan sepeda bututnya pergi keluar atau kadang ke pasar malam. Seketika tangisku berhenti. Aku tidak butuh disembur air dari mbah Jari, aku butuh sosok Ayahku. 

 

Ibuku tinggal di kota lain sedang menuntut ilmu. 

Kenapa Bapak dan Ibuku tinggal terpisah, karena sejak sebelum aku lahir mereka selalu bertengkar. Bahkan pernikahan mereka tidak disetujui orang tua Ibuku. Kami diusir dari keluarga Ibu.

 

Setelah menginjak usia 2 tahun, Ibu mengambilku dengan paksa untuk ikut ke kotanya. Beliau pergi tanpa Bapakku. Kini aku hidup dengan Ibu. Seketika tangisku tiap malam berhenti. Aku tidak lagi menangis tanpa sebab setiap malam. Ternyata, aku rindu kasih sayang Ibu.

 

Entah usia berapa, sekitar usia taman kanak-kanak, aku pernah dilecehkan (bukan sampai tahap yang membahayakan, tapi bagi usia anak-anak itu hal yang kurang pantas, yang kini sangat membuatku trauma mendalam) oleh seorang anak laki-laki yang usianya di atasku, dia anak dari teman ibuku yang tinggal bertetangga dengan tempat tinggal Ibuku. Tapi bukannya dia yang disalahkan, aku yang dicecar habis-habisan oleh ibu. Badanku diseret, dibanting ke kasur, dan diintrogasi dengan memojokkan seolah-olah aku yang salah. 

Aku hanya bisa menangis dan memohon ampun antas kesalahan yang bahkan aku bingung dimana letak kesalahanku. Mungkin sekarang Ibu lupa kejadian itu, tapi memori ingatanku membekas hingga sekarang. Apa trauma ini hal yang wajar bagi kalian?

 

Beberapa tahun setelahnya, Bapak memutuskan ikut Ibu ke kota lain yang berbeda. Kami pindah kota lain karena urusan pekerjaan Ibu. Bapak tidak punya pekerjaan tetap, jadi bisa ikut kemanapun kami pindah. Aku pikir ini kabar baik ketika Bapak dan Ibuku hidup bersatu, menyatu dalam satu atap. Inilah yang aku inginkan, hidup dalam keluarga yang utuh.

Tapi ternyata aku salah besar. Hampir setiap hari, setiap saat, setiap waktu yang aku dengar adalah amarah, kemarahan, ancaman, kecaman, teriakan, tangisan, bentakan, dan segala perpecahan yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu. Apa ini sudah cukup membuat aku trauma? Apa bagi kalian ini hal yang wajar dialami?

 

Belum cukup sampai disitu, setelah berpuluh-puluh tahun, aku tidak pernah merasakan kasih sayang yang utuh dari Ibu dan dari Bapak. Berpuluh-puluh tahun aku selalu mendengar dan melihat segala pertengkaran itu di depan mataku. Bapak orang yang keras, beliau sangat emosional. Suaranya menggelegar. Satu kata dan satu panggilan saja kepadaku akan membuatku sangat takut. Seingatku, Bapak tidak pernah memelukku. Bapak jarang pulang kerumah, setiap malam pulang dalam keadaan mabuk. Ibu juga orang yang amat sangat emosional, keras kepala karena keadaan. Kalian pernah lihat orang tua kalian hampir saling bunuh? Aku melihat bapak menodongkan parang ke leher Ibuku. Bapak membakar semua baju-baju di lemari dan hampir membakar rumah. Aku tau Ibuku berkali-kali nyaris bunuh diri. Adikku yang paling kecil bahkan melihat langsung dengan mata kepalanya sendiri saat TK, Ibu mencoba menenggelamkan dirinya di dalam bak mandi untuk bunuh diri. Apa itu belum cukup untuk membuatku mengatakan alasan traumaku?

 

Saat duduk di bangku kuliah, aku jauh dari keluargaku. Saat itu aku dengar Ibu dan Bapak memutuskan untuk bercerai. Karena pekerjaan Ibuku, sangat sulit mengajukan permohonan gugatan perceraian, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, salah satunya adalah surat pernyataan persetujuan perceraian dari anaknya. Anak tertua dalam keluarga adalah aku, menurut kalian bagaimana perasaan anak menyetujui kedua orang tuanya bercerai? Dengan berlinang air mata, aku menuliskan surat itu, menandatanganinya, dan mengirimkannya ke Ibu. Aku pikir, mungkin inilah caraku untuk membantu Ibu keluar dari penderitaannya. Walaupun berat bagiku, tidak mudah, sulit untuk ikhlas. Sampai disitu penderitaankui? Apa bagi kalian itu hal biasa?

 

Sebelum itu aku sedang jatuh cinta, satu-satunya orang, satu-satuny pria yang menemaniku saat senang dan sedihku, saat jatuhku, saat terpurukku adalah dia, orang yang spesial bagiku. Aku percaya padanya. Orang yang pertama kali aku rasa tulus menyayangiku, memberikan rasa nyaman padaku. Aku mencintainya, aku mempercayainya. Satu-satunya sosok pria pertama yang memberikanku kasih sayang. Satu-satuny pria yang pertama kali memujiku setiap kali bertemu dan menjemputku di depan gerbang kos, dia selalu menyambutku dengan senyuman, dia selalu bernyanyi “kau cantiiik harii iniii… dan aku sukaa”, kutipan lagu Lobow dengan judul Kau Cantik Hari Ini. 

Dia selalu datang padaku saat aku sedih, kesal, marah, kecewa. Dia tau aku sangat menyukai cokelat. Saat itu dia selalu datang ke depan gerbang kosku membawakanku 2 cangkir coklat panas kesukaanku dari Circle-K, kemudian kami saling mengobrol dan aku menumpahkan segala kekesalanku padanya sambil menyeruput secangkir cokelat panas di bawah kaki gunung Merapi yang dingin. 

Bahagiaku sederhana, sesederhana mendapat perhatian tulus dari laki-laki itu. Dia panggil aku “Ndaa..” dengan nada lembutnya. Setiap kali melihatnya hatiku berdebar, aku benar-benar jatuh cinta. Dia tidak pernah memberikanku bunga, aku ingat hanya satu kali dia membeli bunga saat di lampu merah, seorang anak kecil perempuan menjual bunga, tersisa satu, dia menawarkan kepada kami, dia butuh makan katanya. Laki-laki itu membelinya. Dia bilang, kasihan anak itu, kemudian menyimpan dan menyelempitkan bunga itu ke dalam tas kecilnya. Kami kemudian sempat berkeliling kota Jogja dengan sepeda motornya semalaman itu. Aku lupa pada bunga yang dibelinya. Setelah sampai mengantarkanku di depan gerbang kos, dia mengeluarkan setangkai bunga mawar merah yang dibelinya tadi dari dalam tasnya.

“Ndaa.. buat kamu, aku ga pernah kan beliin kamu bunga”. Kamu tau rasanya? Hatiku hampir meledak. Aku benar-benar jatuh cinta.

 

Pernah suatu malam di sekitar titik nol kilometer di Malioboro, seorang pengamen datang seperti biasa memainkan lagu untuk memperoleh sedikit rejeki dari pengunjung. Laki-laki di sebelahku kemudian berdiri dan berbisik pada mas pengamen itu, ia meminta memainkan sebuah lagu. 

Mas pengamen dengan ekspresi senang tersenyum dan memainkan lagu itu di tengah banyaknya orang lalu lalang dan duduk di sekitar Malioboro. 

 

“Mas tolong nyanyikan buat perempuan cantik yang lagi duduk disitu ya” kata laki-laki itu sambil terus tersenyum menatapku.

 

“Kau begitu sempurnaa.. 

Dimataku kau begitu indah..

Kau membuat diriku akan slalu memujamu..”

 

Lagu “Sempurna” dari Andra and the Backbone mengalun indah diiringi gitar dari mas pengamen. Laki-laki itu ikut bernyanyi disamping mas pengamen, semua orang ikut menikmati penampilan itu. Beberapa orang bahkan berkumpul mendekat memperhatikan. Setelah lagu selesai dimainkan, semua serentak bertepuk tangan. Aku tidak dapat mengendalikan bibirku yang terus merekah tersenyum, mataku yang berkaca-kaca, dan hatiku yang nyaris meledak. Ya Tuhan, aku jatuh cinta. Ya Tuhan, terima kasih mengirimkan laki-laki ini ke duniaku yang hancur, akhirnya aku merasakan rasanya disayang dan dicintai oleh seorang laki-laki. Dia berjanji padaku, tidak akan menyakitiku seperti Bapak menyakiti Ibuku.

 

Tapi ternyata, kebahagiaanku kemudian secepat itu berakhir. Laki-laki itu pergi dengan wanita lain, dia bahkan mengakuinya sendiri di hadapanku saat memutuskan hubungan denganku.

“Ada perempuan lain yang aku suka, maaf kita ga bisa bersama lagi”.

 

Seketika duniaku hancur, duniaku runtuh. Di saat yang hampir bersamaan aku mendengar kabar, Ibu dan Bapak juga akan berpisah. Dan aku harus menuliskan surat persetujuan itu dengan tanganku sendiri. Saat itu, adalah dimana percobaan mengakhiri hidupku yang pertama kali aku lakukan. Dengan silet, aku goreskan ke tanganku. Tapi digagalkan oleh teman kosku, sebut saja R, yang juga sahabatku, dia menjagaku, menggagalkan semua rencanaku, menyingkirkan semua benda tajam di dalam kamarku. Menjagaku sepanjang waktu. Kalau R tidak datang saat itu, mungkin semuanya sudah berakhir. 

 

Sampai disitu apakah berakhir segala penderitaanku? 

Belum cukup, cintaku pada laki-laki itu belum berakhir. Begitu pula dengan traumaku. Mungkin aku terlalu mencintainya, mungkin itulah yang membuat Tuhan mengambilnya dariku. Tuhan maha pencemburu. Aku seharusnya tidak mencintainya sedalam itu. Tapi dialah yang pertama memberikan segala yang aku butuhkan dari cinta seorang laki-laki.

 

2 tahun lebih berlalu, aku belum juga bisa melupakannya. Aku enggan mengenal orang baru hanya untuk disakiti lagi. Aku juga enggan menyakiti orang lain karena hatiku masih belum sembuh. Tapi kemudian, aku bilang “sudahlah, aku lelah dengan semuanya. Aku tidak perlu cinta untuk menikah dengan orang lain, kalau ada yang datang melamarku, akan aku terima”

Salahku. Kebodohanku! Awal dari trauma baru yang baru saja aku ciptakan kembali.

 

Datang seorang laki-laki yang tiba-tiba melamarku. Tidak butuh waktu lama aku menerimanya, mencoba membiarkannya masuk ke dalam hidupku. Selama beberapa waktu yang cukup singkat mengenalnya, aku sadar dia bukan sosok yang aku cari, dia bukan yang aku butuhkan. Tapi nasi sudah menjadi bubur, selama persiapan pernikahan banyak sekali kendala, cekcok, dan segala hal yang membuat kami semakin berjarak. Aku semakin tidak yakin akan melanjutkan pernikahan ini. Aku berusaha membatalkan pernikahan dan memohon pada Ibu untuk menyudahinya. Tapi Ibu menolak dan berusaha menasihatiku kalau itu adalah ujian sebelum pernikahan. Dan terjadilah pernikahan itu. Di bulan-bulan awal sudah ada pertengkaran besar yang terjadi. Kami sudah hampir berpisah di bulan awal pernikahan.

Aku tidak perlu menjelaskan secara rinci dan detail permasalahan rumah tangga yang kami alami. Setelah berjalan hampir 5 tahun dengan segala ketidak cocokan, pertengkaran, keributan, kehancuran, trauma, dan hal lain yang membuatku teringat kembali kenangan masa kecil saat tinggal dengan Ibu dan Bapak, kini terulang kembali. Tubuhku mengingat semuanya. Otakku merekam segalanya. Tubuhku sakit, sakit yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Sejak 2019, aku selalu mengalami sesak napas. Bolak balik keluar masuk IGD. Bahkan di Jogja saat menjalani Latsar CPNS aku kembali masuk IGD. Tapi semua dokter mengatakan, aku baik-baik saja. Saturasiku baik. Aku normal. Tapi aku merasa ini tidak normal. Aku tidak bohong dok.

 

Setiap malam aku selalu berdoa dan menangis untuk bisa keluar dari hidup yang seperti neraka itu. Aku memohon kepada Tuhan untuk menyudahi segalanya. Ya Tuhan, jika jalan keluarnya adalah dengan mengambil nyawaku, aku mohon ambil saja seluruh nyawaku ya Tuhan. Tiada lagi yang tersisa dari hidupku yang bisa aku serahkan kepadaMu ya Tuhan. Aku tidak memiliki sedikitpun kebahagiaan dalam hidupku.

Kemudian, datanglah kesempatan itu untuk menyudari segalanya. Bagiku seumur hidup dengan orang yang salah itu terlalu lama. Tapi nyatanya, jalan yang diberikan Tuhan kepadaku untuk keluar dari masalah ini justru dengan memberikanku masalah lainnya yang menghancurkan segala harga diriku. Aku sempat berdoa kepada Tuhan dalam malam panjangku.

 

“Ya Tuhan, aku ingin sekali merasakan perasaan jatuh cinta. Aku ingin rasanya dicintai, rasanya disayangi. Bolehkan ya Tuhan. Sudah sangat lama sekali aku tidak pernah merasa dicintai dan mencintai”

 

Kemudian datanglah sosok yang mendebarkan hatiku lagi setelah bertahun-tahun mati rasa.

Tapi sayang, dia datang di waktu yang kurang tepat.

Bukan hanya waktu yang salah, tapi juga kepada aku, perempuan gila yang tidak pantas untuknya.

Tuhan memang mengabulkan doaku, untuk pertama kali sejak hatiku tidak pernah bergetar untuk laki-laki manapun, akhirnya aku merasakan cinta. Tapi aku lupa, aku lupa meminta dalam agama yang sama. 

 

Kemudian, aku menanggung segala risikonya. Aku mengambil segala keputusan berat itu. Aku mengakui segala kesalahan fatalku. Segalanya berubah. Perpisahan yang dulu aku tidak ingin lalui karena trauma dengan perpisahan kedua orang tuaku, justru aku rasakan. 

Aku tidak ingin membela diri, tapi jujur aku sangat ingin sekali menjelaskan atas segala yang terjadi dan pandangan negatif orang-orang kepadaku, dari sudut pandangku dan dari segala yang aku alami.

“Kan dia ga main tangan?”

Oh baik, tapi kekerasan verbal juga termasuk hal yang menyakitkan. Aku pernah mendapatkan makian anjing, bangsat, goblok, mati aja sana, biar aja kita mati sama-sama sekarang!.Di depan orang tuaku dan orang tuanya aku diteriaki, aku dimaki. 

Kekerasan fisik? Bukan tidak pernah aku alami. Tapi juga aku melawan diri. 

 

Aku ingin sosok laki-laki yang juga menyayangi keluargaku, tapi dia hanya mengunjungi keluargaku setahun sekali saat lebaran dan hanya beberapa jam. Dia enggan menemui keluargaku. Apa aku yang terlalu berlebihan?

 

 

Apa hanya aku yang pernah selingkuh?

Justru selama hampir 5 tahun, dia melakukan micro cheating dengan matannya. Aku tidak menyalahkan mantannya. Aku tau laki-laki itu yang salah. Bahkan karena masalah ini, aku hampir mengakhiri hidupku untuk yang kedua kalinya, tapi dia bahkan tidak membelaku, dia menganggap yang dilakukannya benar. Karena masalah ini bahkan sekelompok orang (adik tingkat di SMA) menyalahkanku dan memusuhiku menganggap aku yang terlalu berlebihan dan cemburu berlebihan. Dia memuji wanita lain di hadapanku, dia texting wanita lain dibelakangku, dia menuliskan ajakan kepada wanita lain di media sosial untuk datang kerumah kami, dan itu dibaca oleh ratusan orang lain. Tidak perlu aku ceritakan segalanya, aku bahkan pernah membaca ucapan ulang tahun kepada mantannya di room chat media sosialnya. Tapi apa aku pernah menceritakan ini ke orang tua kami? Tidak. Aku pendam semuanya sendiri. Aku tangisi semua sendiri. Aku jalani hari-hariku seperti biasanya dengan dada sesak.

 

Kemudian, saat masalahku muncul, kabar berkembang, entah siapa yang berkoar-koar seakan aku yang paling salah. Aku yang hina, wanita murahan, wanita jalang, tukang selingkuh, dan segala hal buruk yang di cap orang lain terhadapku. Bukan satu dua orang, tapi bahkan satu kota, SATU KOTA. Mendengar gosip itu, mengembangkannya, dan telah memberikan image buruk itu kepadaku. Saat itu, duniaku kembali hancur. Aku depresi, aku kembali melakukan percobaan bunuh diri yang kesekian kalinya. Bukan satu kali, bahkan dua kali. Kemudian kami berpisah dengan cara yang tidak baik-baik saja.

 

Kemudian, jeda 2 bulan sejak surat perceraian keluar, mantan suamiku menikah dengan salah satu pegawai di café kami. Aku ingat sekali, sebelum terjadi permasalahan dan pertengkaranku, dia memuji kecantikan perempuan itu. Berkali-kali memujinya di hadapanku dan mengatakan kalau perempuan itu punya mobil honda HRV putih. Bukan sekali, dia bahkan menceritakan kembali tentang perempuan itu kepada mamanya (mertua perempuanku), dan juga kakak perempuannya (kakak iparku). Dan nyatanya, tidak butuh waktu lama mereka kemudian menikah.

 

Lantas bagaimana dengan aku?

Di kota ini, namaku sudah sangat buruk. Aku sudah tidak ada harganya. Bahkan aku sempat dengar, salah satu kenalanku ingin menjodohkan aku dengan temannya. Lalu kemudian temannya berkata “oh mantan istri si D? anjir, janganlah kenalkan aku sama dia. Bisa heboh keluargaku, itu kan yang dulu kasusnya sempat ramai”

Sakit? Ya, aku ternyata sudah tidak punya harga diri lagi disini. Tidak ada yang mau dekat denganku. Sahabatku hanya sedikit. Aku tidak punya banyak teman. Teman sekantorku menggunjingkanku di belakangku. Tidak sekali dua kali secara terang-terangan menuliskan status tentang aku si wanita murahan di sosial medianya. Beberapa bahkan menjauhiku.

 

Di tengah kesendirianku, keterpurukanku, kehancuranku, aku berusaha bertahan hidup. Kemudian, aku bertemu lagi dengan laki-laki yang menumbuhkan perasaanku kembali. Dia yang berusaha membuatku bertahan hidup. Dia yang menemaniku menjalani hari-hariku. Dia salah satu alasanku bertahan. Dia bisa menjadi pasangan, ayah, kakak, dan aki-laki idaman, dia segalanya. Dia penyempurnaku. Dia pelengkapku. Dia adalah impianku. Dia lengkap.

Tapi kami sama-sama sadar, kami tidak bisa bersama. Tembok yang menghalangi kami terlalu tinggi. Bahkan dua Tuhan pun sulit menyatukan kami. Tapi setidaknya, entah sampai kapan, ya Tuhan, aku hanya ingin bersamanya. Aku mohon ya Tuhan, sebentar lagi, beri aku waktu sebentar lagi saja ya Tuhan. Aku belum siap berpisah. Aku belum siap kehilangan lagi orang yang aku sayang dan cintai. Dia satu-satunya alasan aku tetap bertahan hidup. Aku sadar, cinta tidak harus memiliki, aku benar-benar berharap dia juga bahagia. Tapi kenapa Engkau pertemukan dia dengan aku “si Perempuan Gila” ini. Kasian dia ya Tuhan.

 

Aku mungkin lebih baik pergi. Dia berhak bahagia.

 

Tapi kini dia pergi.

 

Ya Tuhan, jika engkau ambil kembali satu-satunya alasanku untuk tetap hidup. Aku mohon, biarkan hidupku cukup sampai disini. Aku sudah terlalu lelah merasakan segala kepahitan hidup ini. Berikan aku satu saja alasan kenapa aku harus tetap bertahan ya Tuhan. Aku sudah cukup. Aku sudah runtuh.

Komentar